Ironi Kemajuan Teknologi Vs Kerusakan Lingkungan

Farrah Nur Fadhilah . June 05, 2025

Teknologi.id - Kemajuan teknologi telah membawa dunia menuju era serba canggih. Dalam dua dekade terakhir, manusia berhasil menciptakan berbagai alat, sistem, dan solusi berbasis teknologi yang mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi. Namun di balik kemajuan ini, tersembunyi sebuah ironi besar, semakin canggih teknologi yang diciptakan, semakin rusak pula lingkungan tempat kita tinggal.

Teknologi masa kini telah banyak mengusung prinsip green innovation. Kita melihat kendaraan listrik menggantikan mobil berbahan bakar fosil, panel surya menggantikan batu bara, dan bahkan gedung-gedung pintar yang hemat energi. Inovasi ini seharusnya membawa harapan baru bagi bumi yang semakin sesak oleh polusi dan limbah.

Namun, pertanyaannya—jika teknologi sudah semakin ramah lingkungan, mengapa langit yang dulu biru kini menjadi abu-abu? Mengapa lahan yang dulu hijau kini berubah gersang?

Jawabannya sederhana, namun terlalu menohok, yakni karena kita masih lebih banyak merusak daripada mengobati. Di balik wajah futuristik teknologi, aktivitas ekstraktif tetap berjalan. Tambang-tambang masih terus beroperasi, hutan-hutan terus ditebang, dan industri-industri terus menghasilkan polusi.

Ketika Teknologi Hijau Justru Menyisakan Luka

Ironi semakin terlihat ketika teknologi yang kita sebut “ramah lingkungan” ternyata juga bisa menjadi penyebab kerusakan. Ambil contoh kendaraan listrik yang dianggap sebagai solusi atas polusi dari kendaraan konvensional. Faktanya, baterai kendaraan listrik memerlukan logam seperti nikel, lithium, dan kobalt, yang penambangannya menyebabkan deforestasi besar-besaran.

Menurut laporan Mighty Earth (2024), dalam rentang waktu 2011–2021, lebih dari 75.000 hektare hutan di Indonesia digunduli demi tambang nikel. Angka ini setara dengan 268 lapangan bola Gelora Bung Karno (GBK). Lahan-lahan ini awalnya adalah rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna, serta penjaga keseimbangan ekosistem bumi. Kini, banyak yang berubah menjadi kawah tambang raksasa yang gersang dan beracun.

Morowali: Potret Kelam di Balik Teknologi Canggih

Salah satu wilayah yang paling terdampak adalah Morowali, Sulawesi Tengah, yang dikenal sebagai “surga tambang nikel.” Di balik kilauan investasi dan janji kemajuan, masyarakat di daerah ini hidup berdampingan dengan limbah, udara tercemar, dan suara mesin tambang tanpa henti.

Infeksi saluran pernapasan menjadi penyakit umum di kalangan warga dan pekerja tambang. Udara di sekitar kawasan industri tercemar Sulfur Dioksida (SO₂), yang kadar aman maksimalnya adalah 150 µg/m³, namun kini mencapai 288,497 µg/m³—hampir dua kali lipat dari ambang batas aman.

Tak hanya itu, beberapa peristiwa tragis terjadi, termasuk banjir lumpur merah akibat limbah tambang dan ledakan di area industri yang menewaskan belasan orang. Semua ini menjadi pengingat keras bahwa teknologi tidak selalu bersih, dan sering kali ada korban nyata yang harus dibayar untuk sesuatu yang disebut “kemajuan”.

Baca Juga :Ide Bisnis yang Cocok dengan Kemajuan Teknologi

Kemajuan Teknologi Tanpa Keberlanjutan Adalah Ancaman

Kemajuan teknologi yang tidak dibarengi dengan prinsip keberlanjutan justru menjadi pedang bermata dua. Ia memang menjanjikan efisiensi, kemudahan, dan kecepatan. Namun di sisi lain, ia juga membuka jalan bagi eksploitasi alam yang brutal dan tak terkendali.

Perlu dipahami bahwa teknologi bukan netral, ia sangat bergantung pada bagaimana manusia mengembangkannya dan untuk tujuan apa. Jika orientasi utamanya adalah profit dan efisiensi semata, maka keberlanjutan dan keselamatan lingkungan akan selalu menjadi nomor sekian

Sudah saatnya kita mengubah cara pandang terhadap kemajuan teknologi. Kemajuan sejati bukanlah sekadar seberapa cepat internet kita bekerja, seberapa pintar AI kita merespons, atau seberapa jauh mobil listrik kita bisa menempuh jalan. Kemajuan sejati adalah ketika teknologi mampu berjalan beriringan dengan pelestarian alam dan keselamatan manusia.

Beberapa langkah yang perlu terus dikembangkan:

  • Penerapan prinsip teknologi berkelanjutan, dari tahap desain hingga daur ulang produk.

  • Kebijakan lingkungan yang tegas, termasuk pembatasan eksploitasi tambang di wilayah sensitif.

  • Transparansi industri, agar publik tahu dari mana bahan baku teknologi berasal dan bagaimana proses produksinya.

  • Pendidikan ekologi digital, agar masyarakat memahami bahwa di balik layar smartphone dan laptop mereka, ada harga lingkungan yang harus dibayar.

Ironi yang Harus Disadari

Ironi antara kemajuan teknologi dan kerusakan lingkungan bukan sekadar kontradiksi biasa—ini adalah dilema moral dan eksistensial. Kita tak bisa terus membanggakan pencapaian teknologi sambil membiarkan bumi hancur perlahan-lahan.

Jika kita tidak segera mengarahkan teknologi ke jalur yang lebih beretika dan ekologis, maka anak cucu kita mungkin akan mewarisi dunia yang lebih canggih, namun jauh lebih tidak layak huni.

Teknologi harus berkembang, tetapi bumi tidak boleh dikorbankan. Saatnya kita tidak hanya menciptakan teknologi yang lebih pintar, tapi juga lebih bijak dan lebih peduli.

Temui berita tentang teknologi lainnya di Teknologi.id.

(FNF)

author1
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

1 Komentar