
Teknologi.id - “78% rumah sakit di negara maju telah mengadopsi AI dalam diagnosis, sementara di Indonesia angkanya baru mencapai 22%,” ungkap laporan World Health Innovation Summit 2025. Fakta ini menjadi dasar pernyataan tegas Menteri Kesehatan RI: dokter yang menolak AI akan tertinggal. Dalam pidatonya, ia menekankan bahwa kecerdasan buatan (AI) bukan lagi opsi, melainkan keharusan dalam sistem kesehatan modern.
Dengan rasio dokter dan pasien yang masih 1:2.000 serta disparitas layanan kesehatan yang lebar, AI hadir sebagai solusi transformasional.
Baca juga: AI Prediksi Kematian Ini Diklaim Lebih Akurat dari Dokter Spesialis
Revolusi Sunyi di Balik Layar Kesehatan Indonesia
Meskipun belum merata, penerapan AI di rumah sakit Indonesia sudah dimulai. Dr. Siti Fadilah, Direktur Utama RS Cipto Mangunkusumo, menyatakan bahwa sistem diagnosis berbasis AI telah mengurangi beban kerja dokter hingga 30% pada kasus rutin.
“Dulu radiolog harus membaca ratusan rontgen paru setiap hari. Kini, mereka bisa fokus pada kasus kritis,” jelasnya.
AI berfungsi bukan sebagai pengganti dokter, tetapi sebagai second opinion yang aktif 24 jam. Penelitian Journal of Indonesian Medical Association bahkan mencatat akurasi diagnosis pneumonia naik dari 82% menjadi 94% saat dokter dibantu AI.
Tantangan: Data, Regulasi, dan Infrastruktur
Namun, adopsi AI di sektor medis Indonesia tak lepas dari hambatan. Menurut Dr. Hendra Wijaya, Ketua Asosiasi Dokter Spesialis Penyakit Dalam, ada tiga tantangan besar:
-
Keterbatasan Data Latih Lokal
Sebagian besar model AI dikembangkan dari data pasien Eropa dan Amerika, yang kurang akurat saat diterapkan pada populasi Asia karena perbedaan genetik dan lingkungan. -
Belum Ada Regulasi yang Jelas
Indonesia belum memiliki hukum yang mengatur tanggung jawab atas kesalahan diagnosis berbasis AI. Ini menghambat kepercayaan institusi medis. -
Infrastruktur yang Belum Siap
Hanya 40% fasilitas kesehatan tingkat pertama memiliki jaringan internet memadai. Tanpa konektivitas, AI canggih sulit dioperasikan.
Inovasi Daerah: Harapan dari Banyuwangi
Beberapa daerah sudah menunjukkan inovasi lokal. Kabupaten Banyuwangi sukses menurunkan angka kematian ibu hamil lewat sistem AI berbasis risk assessment. Sistem ini menganalisis riwayat kesehatan, usia, dan lokasi geografis untuk memprediksi risiko komplikasi — dan terintegrasi langsung dengan layanan bidan desa.
Pendidikan Dokter pun Beradaptasi
Universitas Indonesia melalui Fakultas Kedokteran telah mewajibkan mata kuliah “Literasi AI untuk Klinisi” mulai tahun 2025. Menurut Prof. dr. Bambang Sutrisna, ini bukan tentang membuat dokter bisa coding, tapi menciptakan mindset kolaboratif antara manusia dan mesin.
Etika dan Masa Depan: AI Bukan Pengganti Empati
Dr. Melani Kartika Sari, ahli etika medis, mengingatkan bahwa AI tidak bisa menggantikan hubungan empatik antara dokter dan pasien.
“AI bisa prediksi penyakit, tapi tak bisa menggantikan empati,” ujarnya.
Kementerian Kesehatan kini tengah menyusun pedoman etik penggunaan AI, dengan prinsip utama: AI adalah decision support, bukan decision maker.
Baca juga: Microsoft Klaim AI Lebih Akurat dari Dokter dalam Diagnosis Penyakit
Menkes: Saatnya Bergerak, Bukan Menolak
Pernyataan Menteri Kesehatan RI memang keras, tapi realistis. Sepanjang sejarah dunia medis, teknologi baru selalu hadir membawa perlawanan—dari mikroskop, vaksin, hingga MRI. AI hanyalah evolusi terbaru.
Bagi dokter yang ragu, sejarah bisa menjadi pelajaran. Stetoskop pun dulu pernah ditolak. Namun kini, itu jadi simbol profesi dokter. Dokter masa kini tak harus takut AI, tetapi harus tahu cara memanfaatkannya untuk kebaikan pasien.
Kesimpulan
Masa depan kesehatan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari AI. Perjalanan masih panjang, penuh tantangan, tetapi peluangnya jauh lebih besar. Dengan regulasi tepat, pendidikan yang adaptif, dan infrastruktur yang diperkuat, AI bisa menjadi mitra penting dokter Indonesia menuju layanan kesehatan yang lebih inklusif, cepat, dan akurat.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(ipeps)
Tinggalkan Komentar