
Teknologi.id - Sebuah tim peneliti dari Denmark mengembangkan teknologi kecerdasan buatan bernama Death Clock, yang mampu memprediksi kematian seseorang dengan akurasi mencapai 78%. Studi ini diterbitkan dalam jurnal Nature Computational Science, menggunakan data kesehatan lebih dari 6 juta orang Denmark selama 15 tahun.
Berbeda dengan dokter yang menggunakan intuisi medis, algoritma ini membaca pola dalam riwayat medis, gaya hidup, hingga catatan pekerjaan untuk memperkirakan harapan hidup seseorang.
Cara Kerja Death Clock: AI yang Membaca Hidup Seperti Teks
Teknologi AI ini tidak menggunakan pendekatan mistis, melainkan memanfaatkan machine learning yang bekerja mirip seperti ChatGPT dalam memprediksi kata berikutnya. Sistem menganalisis urutan peristiwa hidup, seperti kunjungan ke rumah sakit, perubahan pendapatan, dan bahkan frekuensi liburan.
Yang menarik, faktor non-medis seperti status perkawinan atau jenis pekerjaan juga berkontribusi besar dalam akurasi prediksi. Menurut Prof. Sune Lehmann dari DTU, hidup manusia dianalogikan seperti partitur musik, dan AI mencari pola harmonis maupun disonansi dalam alurnya.
Baca juga: Jack Dorsey Bikin Bitchat, Aplikasi Chatting Tanpa Internet Pesaing WhatsApp
Akurasi Tinggi Tapi Penuh Dilema Etika
Death Clock menunjukkan performa mengesankan saat diuji pada orang usia 35–65 tahun, dengan prediksi kematian dini akurat hingga 75%—jauh di atas prediksi dokter (58%).
Namun, teknologi ini menimbulkan kekhawatiran etis. Perusahaan asuransi dan perekrut tenaga kerja mulai tertarik menggunakan teknologi serupa, yang berisiko memicu diskriminasi algoritmik. "Bayangkan jika skor AI menyatakan Anda tak akan hidup cukup lama untuk pensiun, lalu Anda ditolak kerja," kata Effy Vayena dari ETH Zurich.
Death Tech: Antara Manfaat dan Hiburan yang Gelap
Teknologi prediksi kematian kini mulai hadir dalam bentuk aplikasi publik. Misalnya, Death Clock hadir dengan tampilan ala filter Instagram, memberikan prediksi umur berdasarkan gaya hidup. Sementara itu, aplikasi asal Swedia bernama Endgame menawarkan simulasi keuangan berdasarkan umur prediksi kematian.
Survei Pew Research Center menunjukkan bahwa 62% orang menolak tahu tanggal kematiannya, tapi 28% lainnya—terutama generasi milenial—penasaran karena terbiasa dengan budaya quantified self.
Regulasi dan Masa Depan Teknologi AI Prediksi Kematian
Uni Eropa melalui AI Act 2024 sudah menetapkan teknologi prediksi kematian sebagai bagian dari risiko tinggi penggunaan AI. Beberapa ahli mendorong pendekatan “right not to know”—di mana hasil hanya boleh diakses jika pengguna memintanya secara sukarela.
Di dunia medis, rumah sakit di Kopenhagen sudah menggunakan versi terbatas Death Clock untuk mengatur prioritas pasien kritis. Di sisi lain, pasar teknologi prediksi kematian diperkirakan bernilai $1,2 miliar pada 2026, menurut MIT Technology Review.
Dampak Psikologis: Apakah Kita Siap Tahu Kapan Akan Mati?
Studi dari Journal of Medical Ethics menemukan bahwa informasi prediksi kematian bisa menimbulkan dampak psikologis ekstrem. Sebagian orang menjadi lebih produktif, namun tak sedikit yang mengalami fatalistic paralysis—ketakutan berlebihan yang membuat mereka menyerah pada nasib.
Dr. Elena Martinez dari Universitas Barcelona menyebut efek ini sebagai “Sword of Damocles” modern, dan menyebut gejala seperti AI Mortality Stress Syndrome (AMSS) mulai banyak ditemukan di klinik kesehatan mental Skandinavia.
Baca juga: Daftar Tim Megabintang AI Bentukan Zuckerberg, Gebrakan Lawan ChatGPT
Kesimpulan: Haruskah Kita Tahu Tanggal Kematian Kita?
Teknologi AI seperti Death Clock membuktikan bahwa prediksi kematian kini bukan lagi fiksi ilmiah. Namun, muncul pertanyaan besar: seharusnya kah kita mengetahuinya?
Di tengah dunia yang semakin bergantung pada data, kita perlu bertanya kembali: apa arti menjadi manusia jika masa depan kita bisa dihitung dalam angka dan probabilitas? Teknologi tetaplah alat—dan manusialah yang menentukan bagaimana ia digunakan, tanpa kehilangan sisi kemanusiaan.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(ipeps)
Tinggalkan Komentar