
Teknologi.id - Pada 8 Juni 2025, Jepang membuat langkah berani. Parlemennya mengesahkan Undang-Undang AI pertama yang dirancang untuk "meminimalkan regulasi, memaksimalkan inovasi"—seperti dilaporkan Kompas. Sementara itu, di Indonesia, kita masih sibuk bertanya: Harus mulai dari mana?
Padahal, menurut Stanford AI Index 2024, 65% negara G20 sudah memiliki kerangka hukum AI. Sedangkan Indonesia? Draft RUU Perlindungan Data Pribadi saja masih terkatung-katung. Ini bukan sekadar soal ketertinggalan, tapi tentang siapa yang akan mengendalikan masa depan teknologi di negeri sendiri.
Baca juga: 5 Skill AI yang Wajib Kamu Kuasai dan Pelajari di Era Sekarang!
Pemberlakuan Undang-Undang yang Tidak Membatasi Inovasi
Pendekatan anti-overregulasi dalam UU AI Jepang menjadi strategi yang menarik dalam mendorong inovasi teknologi tanpa menghambat perkembangan industri. Pemerintah Tokyo memahami bahwa terlalu banyak aturan dapat membatasi kreativitas, sehingga alih-alih menerapkan regulasi yang ketat dan kompleks, mereka hanya menekankan tiga prinsip utama yang berfokus pada transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan hak cipta.
Prinsip transparansi mengharuskan perusahaan untuk memberi tahu pengguna jika mereka berinteraksi dengan AI, memastikan keterbukaan dalam penggunaan teknologi. Akuntabilitas mewajibkan pengembang untuk mengambil langkah-langkah mitigasi guna mencegah penyalahgunaan AI dalam berbagai aplikasi, sementara kepatuhan hak cipta memastikan bahwa pelatihan model AI tidak melanggar kepemilikan konten yang sah.
Pendekatan ini memungkinkan Jepang tetap kompetitif dalam ekosistem AI global tanpa terjerat dalam regulasi yang berlebihan. Bahkan, Menteri Ekonomi Jepang secara terang-terangan menyatakan bahwa mereka tidak ingin mengulang kesalahan Eropa, yang terlalu berhati-hati hingga berisiko kehilangan momentum inovasi, sebagaimana dikutip oleh Nikkei.
Strategi ini terbukti efektif, karena Tokyo kini menjadi magnet bagi startup AI di Asia, menarik talenta dan investasi yang ingin berkembang dalam lingkungan yang lebih fleksibel dan mendukung eksperimen teknologi. Dengan kebijakan yang lebih adaptif, Jepang berupaya menyeimbangkan antara perlindungan etika dan kemajuan industri tanpa mengorbankan daya saing global.
Dilema Antara Kebutuhan dan Ketidaksiapan Indonesia
Indonesia memiliki potensi besar dalam ekosistem digital, sebagaimana disebutkan dalam laporan Google Temasek 2024, yang memperkirakan nilai ekonomi AI di tanah air dapat mencapai Rp 1.200 triliun pada 2030. Dengan status sebagai pasar digital terbesar di ASEAN, peluang yang tersedia sangat luas—tetapi tanpa regulasi yang jelas, perkembangan ini bisa kehilangan arah.
Bayangkan membangun industri yang begitu besar tanpa landasan hukum yang kuat; risiko penyalahgunaan teknologi, manipulasi informasi, dan berbagai pelanggaran etika akan semakin sulit dikendalikan. Kasus seperti deepfake dalam pemilu 2024 serta maraknya AI scam di marketplaceadalah contoh nyata bagaimana celah regulasi dapat dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab.
Sejak 2023, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah memperingatkan bahwa regulasi AI harus menjadi prioritas agar Indonesia tidak sekadar menjadi pasar sampingan bagi produk asing. Namun, hingga saat ini, yang baru tersedia hanyalah Pedoman Etik AI dari Kominfo, yang belum memiliki kekuatan hukum mengikat.
Jika Indonesia ingin memastikan ekosistem AI yang sehat dan kompetitif, perlu ada kebijakan yang tidak hanya memberi perlindungan bagi konsumen, tetapi juga mendorong inovasi dengan prinsip yang jelas dan berimbang.
Apa yang Dapat Dipelajari Indonesia dari Jepang?
Pendekatan Jepang dalam merancang UU AI bukan hanya soal isi regulasinya, tetapi juga proses pembuatannya, yang mengutamakan kolaborasi cepat, fleksibilitas, dan keberpihakan pada bisnis. Dalam waktu kurang dari 18 bulan, pemerintah Jepang berhasil merumuskan regulasi dengan melibatkan pelaku usaha, akademisi, dan aktivis, memastikan bahwa berbagai perspektif dipertimbangkan sebelum aturan diberlakukan.
Selain itu, kebijakan mereka dirancang secara technology-neutral, sehingga tetap relevan meskipun AI terus berkembang tanpa perlu revisi besar-besaran di masa depan. Yang tidak kalah menarik, regulasi ini pro-bisnis, karena tidak menerapkan hukuman pidana bagi pelanggar, tetapi hanya denda administratif, menjaga keseimbangan antara inovasi dan akuntabilitas.
Indonesia bisa mengambil inspirasi dari pendekatan ini, tetapi dengan beberapa penyesuaian yang mencerminkan kebutuhan lokal. Pemetaan risiko harus menjadi perhatian utama, karena AI yang digunakan untuk diagnostik kesehatan memerlukan regulasi yang jauh lebih ketat dibandingkan AI untuk rekomendasi makanan.
Baca juga: Ini Cara AI Mengubah Dunia Marketing Menjadi Lebih Mudah!
Selain itu, penting untuk memastikan keadilan data, agar dataset pelatihan AI mencerminkan keberagaman Indonesia, bukan hanya wilayah Jawa atau kota besar. Sandbox regulasi, seperti yang diterapkan oleh Singapura, dapat menjadi solusi untuk memberikan ruang uji coba bagi pengembang sebelum aturan permanen diberlakukan, memungkinkan inovasi tetap berjalan tanpa risiko besar terhadap masyarakat. Dengan pendekatan yang lebih adaptif dan inklusif, regulasi AI di Indonesia dapat mendorong perkembangan industri tanpa mengorbankan perlindungan dan etika.
Indonesia memiliki talenta AI yang luar biasa, tetapi tanpa kepastian hukum, potensinya belum sepenuhnya dimanfaatkan. Setiap hari tanpa regulasi yang jelas, kita menghadapi risiko kehilangan kendali atas data warga, melihat startup berbakat memilih basis di luar negeri, dan menyaksikan penyalahgunaan AI yang bisa terjadi tanpa mekanisme perlindungan yang memadai.
Alih-alih hanya menunggu, langkah yang paling strategis adalah bersuara, menuntut kepastian dari para pemimpin yang akan berkuasa. Mendorong calon legislatif untuk memiliki rencana konkret dalam pembentukan UU AI adalah bagian dari membangun masa depan teknologi Indonesia yang lebih mandiri dan berdaya saing. Seperti Jepang yang bergerak cepat dengan regulasi AI yang pro-inovasi, Indonesia pun memiliki peluang yang sama—jika kita tidak hanya menjadi penonton, tetapi penggerak perubahan.
Dapatkan informasi terkait dengan AI atau perkembangan teknologi modern lainnya di teknologi.id sekarang juga!
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(ipeps)
Tinggalkan Komentar