Teknologi.id - Kamu mungkin masih ingat gelombang PHK besar-besaran yang terjadi di Microsoft awal tahun ini—sekitar 10.000 karyawan harus kehilangan pekerjaan secara mendadak. Yang kemudian ramai diperbincangkan adalah pernyataan dari salah satu eksekutif Xbox (divisi gaming Microsoft) yang menyarankan korban PHK untuk mencoba mengobati stres dan depresi lewat chatbot seperti ChatGPT.
Pernyataan ini memicu perdebatan luas di kalangan psikolog dan praktisi ketenagakerjaan. Di satu sisi, survei American Psychological Association 2025 menunjukkan bahwa 42% pengguna AI chatbot melaporkan perbaikan suasana hati setelah berinteraksi dengan teknologi tersebut. Namun di sisi lain, Dr. Sarah Benson dari Harvard memperingatkan bahwa mengandalkan AI seperti memberi plester pada luka bakar tingkat tiga—membantu sesaat, tapi tidak menyelesaikan masalah mendalam.
Baca juga: Microsoft Klaim AI Lebih Akurat dari Dokter dalam Diagnosis Penyakit
Apa Saja yang Bisa Dilakukan ChatGPT untuk Bantu Kondisi Emosional?
1. Memberikan Respons Empatik terhadap Keluhan
ChatGPT dirancang untuk merespons keluhan emosional dengan nada yang penuh empati. Meskipun bukan terapis, AI ini dapat menjadi ruang aman untuk mencurahkan perasaan tanpa takut dihakimi.
2. Menyediakan Teknik Relaksasi dan Mindfulness Dasar
Pengguna dapat meminta panduan meditasi ringan, teknik pernapasan, atau afirmasi positif untuk meredakan stres harian tanpa perlu membuka aplikasi tambahan.
3. Mengarahkan ke Bantuan Profesional Bila Terindikasi Risiko Serius
Jika mendeteksi kata kunci atau pola yang mengarah ke risiko bunuh diri, ChatGPT akan menyarankan pengguna untuk segera menghubungi hotline kesehatan mental sebagai bentuk intervensi dini.
4. Membantu Menulis Ulang CV dan Surat Lamaran
Untuk mereka yang kehilangan pekerjaan, fitur ini bisa menjadi penolong praktis—dari menyusun ulang struktur CV, memperbaiki gaya bahasa, hingga menyesuaikan konten dengan lowongan yang dituju.
Risiko yang Perlu Diwaspadai
1. Potensi Keterasingan Sosial
Terlalu bergantung pada AI bisa membuat seseorang menjauh dari interaksi manusia yang sejatinya penting untuk kesehatan emosional.
2. Risiko Diagnosa Mandiri yang Tidak Akurat
Pengguna bisa saja menyimpulkan kondisi mentalnya sendiri berdasarkan respons AI, tanpa konsultasi medis, yang dapat menimbulkan kesalahpahaman atau keterlambatan penanganan klinis.
3. Ketergantungan Digital sebagai Pelarian
Mengandalkan AI sebagai pelarian emosional bisa memperkuat pola isolasi jika tidak diimbangi dengan coping strategy yang sehat dan interaksi sosial langsung.
Menurut Prof. Takeshi Yamamoto dari Tokyo University, “AI bisa menjadi batu loncatan, tapi bukan tujuan akhir.” Microsoft pun menegaskan bahwa fitur-fitur ini hanya berfungsi sebagai bantuan awal (first aid) dan bukan pengganti terapi profesional.
Baca juga: Anak SMP Bongkar Bug di Microsoft Teams, Dapat $50 Ribu dari Microsoft
Cara Bijak Memanfaatkan AI untuk Pemulihan Emosional
Di masa sulit pasca-PHK, AI seperti ChatGPT bisa membantu proses pemulihan emosional dan kesiapan kembali bekerja, jika digunakan secara bijak:
-
Sebagai jurnal digital, tempat menulis curahan hati dan melacak pola pikir secara berkala.
-
Mencari referensi pengembangan diri, mulai dari buku, komunitas pendukung, hingga podcast motivasi.
-
Latihan wawancara kerja, termasuk simulasi tanya-jawab, evaluasi nada bicara, dan saran perbaikan komunikasi.
Namun, penting untuk tetap menjaga interaksi sosial langsung. Bertemu dengan teman, keluarga, atau mentor memberi dukungan emosional yang tak tergantikan oleh teknologi.
Dan yang paling penting: kenali batas kemampuan AI. Ketika tekanan emosi terasa terlalu berat atau muncul gejala depresi, segera cari bantuan profesional. Seperti pepatah yang relevan:
“Tidak ada algoritma yang bisa menggantikan pelukan manusia.”
Mulailah dari langkah kecil—bicarakan, luapkan, dan jangan ragu meminta bantuan.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(ipeps)
Tinggalkan Komentar